MENJADI LAKI LAKI
‘Masculinity represents strength not just physically, but mentally and emotionally.’ Illustration: Lehel Kovacs |
Aku seorang Perempuan, bukan seorang laki-laki. Disaat dunia begitu kejam terhadap kita yang dewasa ini, yang sedang berproses dan bertahan. Menjadi laki-laki pastilah sangat susah. Banyaknya tuntuan yang harus di emban saat menjadi anak laki-laki, harapan-harapan yang digantungkan pada pundak kalian bahkan saat masih didalam kandungan. Menjadi laki-laki, yang akan mendapat label 'kepala keluarga' sebuah posisi vital dengan segala tanggung jawabnya.
Banyak laki-laki yang ku kenal memiliki mental keras karna pola didik 'toxic masculinity' yang ditanamkan sedari kecil, ngga boleh cengeng, harus kuat, kamu kan laki-laki dan segala macam framing yang mengotakkan figur laki laki ini sebagai pribadi yang harus selalu kuat dan bisa diandalkan.
Bagaikan beban yang selalu dipikul tanpa bisa dibagi. Apalagi setelah berkeluarga hidup istri dan anak tanpa sadar menjadi bagian dari 'beban' yang harus dipikul seorang laki-laki. Bahkan hidup untuk diri sendiri saja sudah susah apalagi untuk orang lain. Betapa besar rasa cinta yang harus kamu miliki untuk mencintai diri mu sendiri dan orang lain.
Aku ungkapkan tulisan ini untuk semua laki-laki yang ada dalam hidupku. Terimakasih. Terimakasih atas perjuangan dan jerih payah selama ini. Terimakasih sudah bertahan. Terimakasih karna ada kalian. Tidak apa jika tidak selalu kuat, menangislah jika ingin menangis, mintalah bantuan, berbagilah beban, keluarkan keluh kesahmu, bahagialah dengan mengutamakan diri dulu baru orang lain.
Semoga tulisan ini bisa senantiasa mengingatkan ku untuk mengerti, betapa susahnya menjadi laki-laki.
Lodtunduh, Ubud
Senin, 04 Oktober 2021
Komentar
Posting Komentar